karya tulis panglipuran bali SMA N 1 KARANGMOJO
LAPORAN
STUDY TOUR
TATA
RUANG DESA PENGLIPURAN
Disusun
oleh:
NAMA : Arif Sungkono
NO : 03
KELAS : XII IPS 3
SMA
NEGERI 1 KARANGMOJO
2013/2014
HALAMAN PENGESAHAN
Karya tulis ini telah diajukan dan
disetujui pada :
Hari :
Tanggal :
Tempat :
Mengetahui,
Kepala Sekolah Guru
Pembimbing
Drs.Aji
Pramono, M.Pd Fadmiyati,M.Md
NIP.19611110 198803 1 013 NIP.19680516
199404 2 007
MOTTO
1.
Kegagalan awal dari
kesuksesan.
2.
Kegagalan hanya terjadi jika kita menyerah.
3.
Di balik kesulitan
maka akan ada kemudahan
4.
Gunakan kesempatan
yang ada karena kesempatan tidak akan
kembali untuk ke dua kali
PERSEMBAHAN
Karya
tulis ini saya persembahkan untuk :
1.
Orang tua yang telah membiayai untuk melaksanakan Study
Wisata ke Bali.
2.
Bapak Kepala Sekolah yang telah memberi izin atas
pembuatan karya ilmiah ini.
3.
Ibu Fadmiyati,S.Pd selaku pembimbing dalam penyusunan
karya ilmiah ini.
4.
Bapak/Ibu Guru dan Staf karyawan SMA N 1 Karangmojo
yang telah membimbing dalam perjalanan maupun dalam objek wisata.
5.
Siswa-siswi yang bersedia membaca hasil karya tulis
ini.
KATA
PENGANTAR
Puji sykur kami panjatkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan anugerahnya sehingga saya dapat
menyelesaikan laporan studi wisata tentang Desa Adat Penglipuran dengan baik.
Laporan
ini saya susun dengan maksud untuk
menyelesaikan tugas sekolah dan membantu
dalam proses belajar mengajar serta memberikan informasi kepada semua
orang. Selesainya laporan ini tidak
lepas dari pihak-pihak yang telah membantu tersusunya laporan ini. Untuk
itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1.
Drs. Aji Pramon. MM , selaku Kepala
Sekolah SMA Negeri 1 Karangmojo.
2.
, selaku Pembimbing Study Tour
3.
Orang tua yang telah memberikan dukungan
baik moril maupun materil dalam menyelesaikan laporan.
4.
Semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan ini, yang namanya tidak bias penulis sebutkan satu
persatu.
Dengan penuh
kesadaran diri dan segala kerendahan hati, saya merasa laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saya sebagai penulis menerima
kritik dan saran mengenai laporan ini dengan
senang hati. Semoga laporan ini bermanfaat
bagi pembaca sekalian.
Karangmojo, 17september
2013
Penyusun
DAFTAR ISI
Judul
Halaman
Pengesahan ……………………………………………………………………........................
Motto
…………………………………………………………………………….......................
Persembahan
…………………………………………………………………………………....
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB
I: PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Manfaat
C. Tujuan
BAB
II: PEMBAHASAN
A. DESKRIPSI
OBYEK
1. LOKASI
OBYEK …………………………………………………………………..
2. KONDISI
FISIK ……………………………………………………………………
3. KONDISI
SOSIAL
a.
Arti Kata Penglipuran
b.
Gambaran Umum Masyarakat
c.
Lembaga Pemerintahan
4. SISTEM
TATA RUANG ...………………………………………………………...
a. Konsep
Tata Ruang Bali ..……………………………………………………...
b. Sistem
Tata Ruang Desa Adat Penglipuran ...………………………………….
1.
Utama Mandala …………………………………………………………….
2.
Madya Mandala …………………………………………………………….
3.
Nista Mandala ………………………………………………………………
5. UTILITAS
LINGKUNGAN………………………………………………………..
a.
Jaringan Sampah
……………………………………………………………….
b.
Jaringan Air Bersih
…………………………………………………………….
c.
Jaringan Air Kotor
……………………………………………………………...
d.
Penghawaan …………………………………………………………………….
BAB
III: PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Desa panglipuran adalah sebuah desa
tradisional yang mempunyai ciri tersendiri, termasuk kelurahan kubu, kecamatan
Bangli, kabupaten bangli. Keasrian desa beserta lingkungannya menandakan bahwa
desa penglipuran sangat sedikit sekali tersentuh oleh alam modernisasi.
Didukung oleh udaranya yang sejuk karena ketinggiannya sekitar 700 m di atas
permukaan laut, memberi kenyamanan bagi penduduk setempat dan bagi mereka yang
berkenjung ke desa tersebut. Desa yang mengelilingi penglipuran adalah desa
khayan, desa gunaksa, desa kubu dan desa ceking.
Desa yang terletak
kurang lebih 6 km sebelah utara kota Bangli atau 1 km dari desa kubuh ini
berpenduduk 700 orang pada tahun 1999 dengan jumlah kepala keluarga 192 KK.
Desa yang teridiri dari satu desa adat dan satu banjar secara
administrasi amat mudah mengaturnya. Jumlah desa adat dan desa pekramannya adalah
sama dengan jumlah anggota banjar sehingga merupakan kepanjangan tangan dari
kelurahan kubu, juga merupakan perwakilan desa adatnya.
Nama Desa
penglipuran menurut
cerita para sesepuh tua di desa penglipuran diambil dari kata ” pengelimg pura
” yang artinya ingat pada leluhur. Cerita ini dikaitkan dengan hijrahnya
leluhur masyarakat bayung gede di wilayah kintamani ke Desa penglipuran yang
sekarang. Untuk mengingat tempat leluhurnya maka dibangunlah tempat
persembayangan yang fungsinya sama dengan tempat persembahyangan yang terdapat
di desa Bayung gede. Tempat persembahyangannya adalah pura bale agung, pura
puseh,pura dalem, dan pura dukuh. keempat pura ini sampai sekarang masi
disungsung oleh masyarakat desa penglipuran. Rasa eling atau ingat tanah asal dari
leluhur mereka yaitu desa Bayung Gede inilah makna dari pembangunan pura
tersebut.
.
B.
Rumusan
Masalah
1. Dimana
lokasi Desa Penglipuran ?
2. Bagaimana
Kondisi Fisik dari Desa Penglipuran ?
3. Bagaimana
Kondisi Sosial dari Desa Penglipuran ?
4. Bagaimana
Sistem Tata Ruangan dari Desa
Penglipuran ?
5. Bagaimana
Ultinitas Lingkungan dari Desa Penglipuan ?
C.
Manfaat
Manfaat yang diperoleh :
1. Manfaat
Subyektif
Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas
Study Wisata Berbasis Budaya
2. Manfaat
Obyektif :
·
Memahami Tata Ruang Desa Adat Penglipuran
·
Menambah wawasan dan pengetahuan kita
mengenai Desa Adat Penglipuran
D.
Tujuan
Studi ini bertujuan untuk mengenali,
mengidentifikasi dan mendeskripsikan Desa adat Penglipuran. Mulai dari tatanan
ruang hingga pola hidup kemasyarakatan yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DESKRIPSI
OBYEK DESA ADAT PENGLIPURAN
1.
LOKASI
OBYEK
Desa adat Penglipuran berada di
bawah administrasi Kelurahan Kubu, Kecamatan bangli, Kabupaten Bangli, yang
berjarak 45 km dari kota Denpasar. Letaknya berada di daerah dataran tinggi di
sekitar kaki Gunung Batur. Berdasarkan data tahun 2001 yang dihimpun
pemerintah, Desa Adat Penglipuran memiliki luas wilayah sekitar 112 Ha.
Gambar 1. Desa
Penglipuran
Untuk menuju desa ini dapat
dicapai melalui sisi timur Desa Bangli, yakni Jalan Raya Bangli – Kintamani,
maupun dari sisi utara desa, yakni Jalan Kintamani Kayuambua – Bangli.
Desa Adat Penglipuran memiliki
batas-batas wilayah sebagai berikut:
· Sebelah
Utara berbatasan dengan Desa Adat Kayang
· Sebelah
Timur berbatasan dengan Desa Adat Kubu
· Sebelah
Selatan berbatasan dengan Desa Adat Gunaksa
· Sebelah
Barat berbatasan dengan Desa Adat Cekeng
Desa Penglipuran resmi ditunjuk oleh Pemerintah
Daerah Bali menjadi desa adat tradisional yang menjadi tujuan pariwisata sejak
tahun 1992.
2.
KONDISI
FISIK
Desa ini
merupakan salah satu kawasan pedesaan di Bali yang memiliki tatanan yang
teratur dari struktur desa tradisional, perpaduan tatanan tradisional dengan
banyak ruang terbuka pertamanan yang asri membuat desa ini membuat kita
merasakan nuansa Bali pada dahulu kala. Penataan fisik dan struktur desa
tersebut tidak lepas dari budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat Adat
Penglipuran dan budaya masyarakatnya juga sudah berlaku turun temurun.
Keunggulan dari
desa adat penglipuran ini dibandingkan dengan desa-desa lainnya di Bali adalah
bagian depan rumah serupa dan seragam dari ujung utama desa sampai bagian hilir
desa. Desa tersusun sedemikian rapinya yang mana daerah utamanya terletak lebih
tinggi dan semakin menurun sampai kedaerah hilir. Selain bentuk depan yang
sama, adanya juga keseragaman bentuk dari bahan untuk membuat rumah tersebut.
Seperti bahan tanah untuk tembok dan untuk bagian atap terbuat dari penyengker
dan bambu untuk bangunan diseluruh desa.
Gambar 2. Kontur
tanah di desa Penglipuran
Lokasi dari desa Penglipuran ini pada daerah dataran
tinggi merupakan salah satu lingkup dari kaki Gunung Batur, kabupaten Bangli,
Bali.
Hal tersebut menyebabkan keadaan
topografi pada Desa Penglipuran berkontur, tidak rata dan mempunyai hirarki
yang tertinggi yang dimanfaatkan sebagai pura, yaitu tempat bersembahyang dan
pelaksaan upacara adat di desa tersebut. Semakin kearah utara topografi tanah
semakin tinggi hingga didapatkan suatu hirarki tertinggi pada pura panataran
dan pura puseh yang digunakan untuk sembahyang umat Hindu di daerah tersebut
dan upacara rutin tiap enam bulan sekali. Semakin ke arah selatan topografi
tanah semakin rendah yang digunakan untuk kuburan umat Hindu di daerah tersebut
Gambar
3. Kontur tanah semakin ke selatan semakin turun
Umat
Hindu percaya arah ke utara adalah arah mulia sehingga digunakan untuk tempat
pura apalagi dengan ketinggian tanah yang mencapai tertinggi pada area
tersebut, serta arah selatan digunakan sebagai kuburan orang desa tersebut,
kuburan anak-anak serta kuburan Alah pati dan Ulah pati. Desa Penglipuran
termasuk desa yang subur dan mayoritas menghasilkan bamboo, hal ini dapat
terlihat dari penduduknya yang banyak menggunakan bamboo sebagai bahan bangunan
rumah mereka.
Gambar
4. Material bambu banyak digunakan sebagai gedek, usuk, plafon bagi rumah warga
3.
KONDISI SOSIAL
a. Arti Kata Penglipuran
Kata Penglipuran
berasal dari kata “penglipur”, yang memiliki arti pelipur hati (penghibur
hati). Nama ini diberikan oleh Raja Bangli ketika mengungsi di desa ini bersama
keluarga kerajaan dan pengawalnya.
Pada masa itu,
kerajaan Bangli diserang oleh kerajaan lain sehingga Raja beserta keluarga
terpaksa mengungsi. Saat Raja berada di desa ini, masyarakat menyambut dengan
gembira dan membantu serta menghibur hati Raja dengan melayani segala kebutuhan
Raja di dalam pengungsian. Banyak hal dilakukan oleh penduduk untuk
menghilangkan kesedihan Raja, seperti mengadakan upaca penyambutan, meyediakan
tampat tinggal dan kebutuhan lainnya, termasuk membantu Raja berperang untuk merebut
kembali kerajaan Bangli. Karena perbuatan penduduk desa yang telah menghibur
hati Raja, maka Raja Bangli menyebut desa ini dengan nama “Penglipuran”, yang
berarti bahwa penduduk desa telah menghilangkan kesedihan dan telah menghibur
hati Raja
b. Gambaran
Umum Desa Penglipuran
Memiliki kepala
lingkungan yang disebut Wayan Kajeng dan kepala adat yang disebut Wayan Supat.
Sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani bamboo yang
ladangnya terletak di sebelah barat desa. Daerah ini merupakan penghasil bamboo
terbanyak di pulau Bali. Selain sebagai petani, juga sebagai pengrajin
anyam-anyaman dari bamboo.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan I Wayan Supat, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk
Desa Penglipuran pada tahun 2010 adalah 225 keluarga yang diwakili oleh 76
dewan desa di dalam lembaga pemerintahan. Jumlah warga (krama) Desa Adat
Penglipuran yang sebanyak 76 orang tersbut disebut sebagai warga/krama desa
pengarep. Krama desa pengarep ini bertanggungjawab penuh terhadap pembangunan
fisik dan non fisik di desa ini. Jumlah ini juga yang menjadi jumlah tapak
rumah di dalam Desa Penglipuran.
Selain lembaga
adat, masyarakat Penglipuran juga aktif dalam kegiatan PKK, Arisan, Posyandu,
Pokdarwis (kelompok Sadar Wisata). Kegiatan PKK dilakukan setiap tanggal 6
dengan kegiatan simpan pinjam, sosialisasi mengenai upaya peningkatan
pendapatan rumah tangga, gizi dll. Jika ada orang asing yang ingin tinggal di
Desa Penglipuran (untuk menetap atau hanya sementara), maka harus ada seorang
warga asli Penglipuran yang bertanggung jawab atas keberadaan orang tersebut
selama berada di dalam lingkungan Desa Adat Penglipuran. Hal ini dilakukan
untuk mencegah adanya perusakan budaya setempat oleh kehadiran orang asing yang
tinggal di dalam desa.
Sama seperti
masyarakat Bali lainnya, penduduk Penglipuran juga menganut sistem kasta.
Seluruh warga Desa Adat Penglipuran beragama Hindu dengan kasta Sudra (kasta
terendah dalam sistem kasta di Bali), tetapi keadaan ini tidak membuat warganya
berkecil hati. Hal ini menjadi motivasi bagi warga Desa Penglipuran untuk
menunjukkan eksistensinya sebagai desa adat tradisonal yang bisa menjadi objek
wisata.
Kegiatan
sembahyang warga desa dilakukan 3 kali sehari di Pura Sanggah yang berada di
dalam rumah masing-masing warga. Pada saat Purnama Tilem sembahyang dilakukan
bersama-sama oleh seluruh penduduk desa di Pura Puseh atau Pura Dalem yang
terletak di bagian utara desa. Untuk menjaga kebersihan diadakan kegiatan
pembersihan lingkungan satu bulan sekali setiap tanggal 15.
Hal ini juga sebagai penerapan ajaran Tri
Hitakarana, yaitu manusia selaras dengan Tuhan, manusia selaras dengan sesama
manusia, dan manusia selaras dengan alam. Keselarasan antar sesama manusia
diwujudkan dalam kegiatan ungkeman, atau arisan dalam bahasa kita. Ungkeman
didakan sebulan sekali dengan tuan rumah yang bergiliran.
Setiap rumah diwajibkan memelihara anjing
karena anjing dianggap sebagai sahabat setia manusia. Hal ini berdasar pada
legenda Asudewa, anjing Dharmawangsa yang tetap setia menemaninya membuat
kisah-kisah sastra. Dharmawangsa merupakan anggota keluarga Pandhawa. Pada saat
perang anjing juga setia menemani Pandhawa berperang, sehingga Pandhawa
memerintahkan setiap keturunannya wajib memelihara anjing. Penduduk dilarang
mengkonsumsi daging anjing. Namun pada beberapa kegiatan, anjing dikorbankan
dan dimakan dengan filosofi memberi tempat yang lebih baik pada sahabatnya.
c. Lembaga
Pemerintahan
Pimpinan
tertinggi di Desa Penglipuran dipegang oleh seorang kepala adat yang diberi
gelar I Wayan Supat dan memiliki masa jabatan yang ditentukan. Masa Jabatan I
Wayan Supat yang masih aktif sekarang ini (2010) akan berakhir pada tahun 2012.
Di dalam mengelola pemerintahan di dalam desa, I Wayan Supat dibantu sebuah
lembaga pemerintahan (perangkat desa) yang bersifat informal otonom, yakni
tidak berada di bawah pejabat pemerintahan Indonesia. Namun, antara lembaga ini
tetap melakukan hubungan korrdinasi dengan pemerintahan Propinsi Bali.
Keberadaan lembaga pemerintahan Desa Adat Penglipuran tersebut diatur dalam
Perda Bali No. 3 Tahun 2001.
Dalam
menjalankan pemerintahan, perangkat desa memiliki sebuah peraturan adat
(seperti UUD dalam pemerintahan Indonesia) yang disebut “Tri Hita Karana”.
Beberapa hal yang tercantum di dalam peraturan tersebut adalah:
1.
Parahyangan
Hubungan manusia dengan Tuhan,
diwujudkan dengan melakukan peribadatan di tempat suci untuk memuja Tuhan.
2.
Pawongan
Hubungan manusia dengan manusia,
diwujudkan dengan menjaga keharmonisan di dalam perkawinan.
3.
Palemahan
Hubungan manusia dengan lingkungan,
diwujudkan dengan menjaga kelestarian lingkungan sekitar dan juga memlihara
hewan ternak dengan baik.
d. Sistem
Perkawinan
Penduduk Desa
Penglipuran menganut sistem patrilineal, yakni sebuah keturunan berdasarkan
dari laki-laki. Beberapa penerapan sistem ini adalah bahwa seorang wanita yang
menikah harus ikut ke rumah suaminya dan warisan berupa harta tak bergerak
(tanah) diberikan kepada anak laki-laki di dalam keluarga.
Di dalam
kepercayaan yang dianut warganya yang kemudian menjadi hukum tak tertulis Desa
Adat Penglipuran, seorang laki-laki hanya diperbolehkan memiliki satu orang
istri, begitu juga sebaliknya (menganut monogami). Paham poligami ataupun
poliandri dilarang keras dijalani oleh penduduk Desa. Jika terdapat seorang
warga yang melakukan tidak poligami atau poliandri, maka dilakukan sebuah
hukuman sosial bagi pelaku beserta keluarganya. Hukuman ini berupa pelanggar
besera keluarga ditempatkan di sebuah pekarangan yang terletak di luar ketiga
zona Tri Mandala, yakni di sebuah zona khusus yang status nilainya lebih rendah
daripada Nista Mandala. Mereka dilarang memasuki tempat suci desa (dalam hal
ini Pura, sebagai tempat peribadatan). Hukuman ini berlaku hingga anak cucu
pelanggar hukum tersebut.
Apabila ada
pendatang dari luar yang ingin menikah dengan penduduk Desa Penglipuran, dia
harus masuk dan mengikuti ajaran agama Hindu sesusai dengan agama resmi di
dalam Desa Penglipuran. Jika orang luar tersebut berjenis kelamin wanita, maka
ia harus ikut suaminya untuk tinggal di dalam lingkungan Desa Penglipuran.
4.
SISTEM
TATA RUANG
a.
Konsep Tata Ruang Bali
Dalam konsep
tata ruang Bali penataan lingkungan dan penempatan bagian-bagian rumah selalu
berkiblat ke arah utara. Hal ini dipengaruhi oleh Gogohan Tua (kebudayaan
tua) yang menempatkan arah utara sebagai tempat tertinggi dan suci. Sehingga
pola penempatan bangunan desa selalu melintang dari utara ke selatan, dengan
utara sebagai bagian suci.
Sedangkan dalam
tata ruang bangunan tinggal memiliki konsep sanga mandala, dimana sebuah
bangunan terbagi menjadi bagian utama, madya dan nista. Konsep ini mengacu
kepada dua hal, yang pertama kepada arah lintasan matahari (timur – barat).
Bagian bangunan timur lebih mulia dibanding bagian barat. Dan yang kedua mengacu
pada sumbu kaja kelud (gunung laut), dimana arah gunung lebih mulia ketimbang
arah laut.
Gambar 5. Konsep Tata Ruang Pada Rumah Tinggal
Sumber:
www.google.com
b.
Sistem Tata Ruang Desa Adat Penglipuran
Di dalam Desa
Penglipuran, ada sebuah kaidah arsitektur yang disebut dengan nama “awik-awik”
untuk mengatur semua tata cara pembangunan.
Dalam pembagian peruntukan lahan (tata ruang),
Desa Penglipuran menganut sistem “Tri Mandala”, yakni sebuah sistem penataan
ruang yang dibagi menjadi tiga zona peruntukan. Istilah tersebut berasal dari
dua kata, yakni “Tri” dan “Mandala”. Tri memiliki arti “tiga”, sedangkan
Mandala memiliki arti “ruang”. Sehingga pengertian etimologis dapat diperoleh
dari kedua arti kata tersebut, yakni “Tiga Ruang”. Atau dalam penjabarannya,
Tri Mandala adalah pembagian tata ruang kawasan menjadi tiga zona berdasarkan
tingkat status nilai kultural (peraturan adat) yang setiap zona tersebut
memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan status nilai yang dimiliki.
Pembagian tata
ruang tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Utama Mandala
Merupakan tempat
dengan nilai tertinggi pada kawasan desa. Pada zona ini terletak pura sebagai
tempat beribadat warga Penglipuran. Di zona ini terdapat sebuah Pura sebagai
tempat peribadatan pusat dari seluruh warga Desa Penglipuran
Gambar 7. Pura
2.
Madya Mandala
Zona ini
merupakan tempat dengan nilai tengah, antara Utama dan nista. Dan digunakan
sebagai tempat tinggal warga. Rumah utama yang berada di Desa Penglipuran berjumlah
76 rumah yang dibagi menjadi oleh jalan utama menjadi 32 rumah di tiap sisi
jalan. Penomoran rumah menggunakan sistem modern, yakni nomor ganjil berada di
satu sisi dan nomor genap berada di sisi lain. Rumah dengan nomor ganjil berada
di sisi timur jalan, sedangkan rumah dengan nomor genap berada di sisi barat
jalan. Nomor rumah tersebut diletakkan di gerbang rumah beserta sebuah papan
informasi yang menunjukkan kondisi penghuni rumah, yakni nama kepala keluarga,
jumlah penghuni laki-laki, jumlah penghuni wanita, serta sebuah keterangan
tentang penghuni rumah.
Gambar 8. Nomor
rumah dan data anggota keluarga
Setiap tapak rumah warga, di
dalamnya terdapat beberapa bangunan yang masing-masing memiliki fungsi
tersendiri dengan penempatan tiap bangunan disesuaikan dengan peraturan Tri
Mandala. Beberapa bangunan tersebut adalah, tempat tidur orang tua (berada di
bagian utara), tempat tidur anak (berada di bagian barat), tempat memotong gigi
(metatah) dan nagaben (berada di bagian selatan) serta kandang dan toilet
(berada di bagian timur). Perletakan ini sesuai dengan peraturan dalam Tri
Mandala, yakni bagian utara adalah zona Utama dan bagian timur tapak adalah
zona Nista.
Perletakan satu rumah warga
dengan rumah warga yang lain, saling bergandengan tanpa dipisahkan oleh pagar
pembatas dan ada sebuah jalur yang menghubungkan antar-rumah tersbut. Hal ini
dilakukan agar warga dengan tetangga sekitar dapat melukakan hubungan yang
langsung sehingga tetap terjaga keharmonisan hubungan antar-warga.
Pengaruh arsitektur dari luar
Desa Penglipuran mulai dirasakan sejak tahun 1960-an, yakni berupa bahan
bangunan, interior, dan perabotan modern digunakan dalam pembangunan, tetapi
ciri khas arsitektur tradisional harus tetap terjaga. Salah satu ciri tersebut adalah
bentuk gerbang rumah, tata letak bangunan di dalam rumah, dan tidak boleh
dibangun bangunan bertingkat.
Jika sebuah keluarga memiliki
jumlah anggota banyak, maka pembangunan rumah baru dilakukan dengan cara
membangun di belakang rumah utama seluas 200 m2 (sikut satak) sehingga jika
dilihat dari jalan desa, jumlah rumah di Desa Penglipuran tetap 76 rumah. Pada
masing-masing rumah memiliki gapura sebagai pintu masuk. Gapura tersebut diapit
tembok setinggi mata yang terbuat dari campuran tanah liat dan kotoran kerbau
Di dekat gapura ditempatkan pura sanggah sebagai tempat sembahyang keluarga.
Gambar 9. Gapura
depan rumah tinggal
Karena setiap rumah memiliki luas
lahan yang sama sehingga untuk mengadakan hajatan besar diadakan di Bale Banjar
yang terletak di dekat gapura desa. Selain itu Bale Banjar juga berfungsi
sebagai tempat berkumpul penduduk ketika rapat, pemilihian kepala desa,
imunisasi, dan lain-lain.
Gambar 10. Bale
banjar
Pengaturan rumah penduduk pada
desa Penglipuran, dengan lebih mengutamakan letak sanggah yaitu sebelah timur,
paon meten bagian utara dari bale upacara, sedangkan bagian barat laji dan
lumbung. Pada Sangah terdapat 3 rong sebagai tempat sesembahan kepada tiga dewa
utama kehidupan. Sedangkan pada bagian Paon meten merupakan tempat tinggal,
mulai dari dapur, tempat tidur dan tempat air.
Gambar 11. Sanggah tempat persembahyangan kepada
tiga dewa kehidupan
Gambar 12. Paon meten: tempat tidur,
dapur, tempat air/mandi
Suatu upaya yang sungguh arif dan
brilian. Itulah kesan pertama yang tertangkap saat mengamati arsitektur
tradisional Bali di desa Penglipuran. Desa Penglipuran yang mempunyai potensi
material bamboo di daerah sekitarnya. Para undagi menerapkannya dan
menyandingkannya dengan material kayu. Dan hal inilah yang membuat arsitektur
nusantara mempunyai jati diri di dalam kancah arsitektur dunia. Seperti halnya
arsitektur tradisional di desa Penglipuran ini pun menggunakannya
penyelesaiannya yang sama untuk menyambung bagian satu dengan bagian yang lain.
Gambar 13. Sistem
Knock Down pada bagian antara badan dan kaki
Di dalam ilmu kostruksi kita
mendapati bahwa suatu bangunan dibagi mejadi tiga bagian yaitu kepala, badan
dan kaki. Gaya disalurkan melewati ketiga bagian tersebut. Begitupun juga
apabila kita kaji bangunan-bangunan yang ada di Bali. Hal tersebut umumnya
berlaku pada bangunan candi sebagai tempat peribadatan.
Pada arsitektur Bali, ada
beberapa jenis bangunan yang menonjol yaitu rumah tempat tinggal, tempat
ibadah, bangunan tempat musyawarah, dan rumah penyimpanan. Tidak seperti
arsitektur modern, arsitektur tradisional Bali dijiwai nilai-nilai religious
dan transendental mulai dari konsep sampai proses pembuatan dan pasca
pembuatan. Menghubungkan yang sacral dan profane.
Typologi bangunan tradisional
umumnya disesuaikan dengan tingkat-tingkat golongan utama, madya dan sederhana.
Tipe terkecil untuk bangunan perumahan adalah sakepat. Yang berarti bertiang
empat. Tipe-tipe membesar bertiang enam, bertiang delapan, bertiang Sembilan,
dan bertiang duabelas. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1.
Sakepat
Bangunan sakepat dilihat dari luas ruang
tergolong bangunan sederhana luasnya ±3m x 2,5m. bertiang empat denah segi
empat. Atap dengan kostruksi kampiah atau limasan. Sebgai variasi dapat ditambah
dengan satu tiang parba, satu atau dua tiang pandak. Dapat pula tanpa
balai-balai dalam fungsinya untuk balai patok atau fungsi lain yang tidak
memerlukan adanya balai-balai. Konstruksinya cecanggahan, sunduk, atau canggah
wang.
2.
Sakenem
Bangunan sakenem berbentuk segi empat
panjang, dengan panjang sekitar tiga kali lebarnya. Luas bangunan ±6m x 2m,
mendekati dua kali luas sakepat. Konstruksi bangunan terdiri dari enam tiang
berjajar tiga-tiga pada kedua sisi panjang. Keenam tiang disatukan oleh suatu balai-balai
atau empat tiang pada satu balai-balai dan dua tiang di teben pada satu
balai-balai dengan dua saka pandak. Hubungan balai-balai dengan kostruksi
perangkai sunduk waton, likah dan galar. Konstruksi atap dengan kampiah atau
limas an. Bahan bangunan dan penyelesaiannya disesuaikan dengan fungsi dan
tingkat kualitasnya.
3.
Sakutus
Diklasifikasikan sebagai bangunan madya
dengan funsi tunggal untuk tempat tidur yang disebut bale meten. Bentuk
bangunan segi empat panjang, dengan luas sekitar 5m x 2,5m. Konstruksi terdiri
dari delapan tiang yang dirangkai empat-empat menjadi dua balai-balai.
Tiang-tiang dirangkaikan dengan sunduk, waton/ selimar, likah, dan galar.
Stabilitas konstruksi dengan sistem lait pada pepurus sinduk dengan lubang
tiang sanggawang tidak ada pada sekutus. Konstruksi atap menggunakan sistem
kampiyah bukan limasan, difungsikan untuk sirkulasi udara selain udara yang
melewati celah antara atap dan kepala tembok.
4.
Astasari
Bentuk bangunan segi empat panjang,
dengan luas sekitar 4m x 5m. tinggi lantai kurang lebih 0,60m dengan tiga atau
empat anak tangga ke arah natah. Bangunan dengan dinding penuh. Dinding
setengah sisi dan setengah tinggi pada sisi teben kauh dan terbuka ke arah
natah. Konstruksi bangunan dengan satu balai-balai mengikat empat tiang dan
empat tiang lainnya berdiri dengan sanggawang sebagai stabilitas. Pemaku tiang
pada balai balai dengan sunduk dan lait, pasak, pada hubungannya. Konstruksi
atap limas an dengan dedeleg pada pertemuan puncak atap. Bahan bangunan, lantai
pasangan batu alam, dinding pasangan batu cetak atau batu bata peripihan. Tiang
dan rangka atap kayu. Rangkap atap iga-iga dari bambu dan penutup atap dari
alang-alang. Seluruh konstruksi menampakan keterlanjangan warna alam sebgai
warna aslinya.
Bagian - Bagian Struktur
Seperti
disebutkan di awal tadi bahwa bangunan tradisional Bali menganut prinsip
kepala-badan-kaki. Maka bagian-bagiannya adalah:
·
Bebaturan
Bagian bawah
atau kaki bangunan adalah bebaturan yang terdiri dari jongkok asu sebagai
pondasi tiang, tapasujan sebagai perkerasan tepi bebaturan. Bebaturan merupakan
lantai bangunan, undag, atau tangga untuk lintasan naik turun lantai ke
halaman.
Gambar 14. Bebaturan atau pondasi tiang
Bahan bangunan
yang dipakai untuk bebaturan sesuai dengan tingkatan sederhana, madya, dan
utama. Jongkok asu sebagai pondasi alas tiang disusun dari pasangan batu alam
atau batu buatan perekat lempung pasir kapur atau pasir semen. Biasanya dipakai
bahan-bahan local yang mudah didapat. Untuk desa Penglipuran kemungkinan bahan
batu alam berasal dari batu lava karena terletak di daerah pegunungan.
·
Dinding
Untuk bangunan
yang sederhana bidang-bidang pembatas sisi dipakai dinding gedeg anyman bambu
atau anyman daun kelapa yang disusun dengan rangka terampa uger-uger. Daun
kelapa dapat dianyam pada kedua belah sisi pelepah dengan helai daun terbuka
disebut teratub. Dilipat dari sebelah sisi untuk anyaman pada sisi sebelah
sehingga mendapatkan anyaman yang lebih tebal dan lebih kokoh dari teratub yang
disebut kelangsah. Pemasangan penutup dinding pada rangka dinding diikat dengan
tali bambu atau tali ijuk dalam satu komposisi yang serasi.
Gambar 15. Dinding anyaman bamboo
·
Tembok
Tembok dan
pilar-pilarnya dibangun dengan pola kepala-badan-kaki, dihiasi dengan pepalihan
dan ornament bagian-bagian tertentu. Tembok tradisional dibangun terlepas tanpa
ikatan dengan konstruksi rangka bangunan. Dipertegas dengan celah antara kepala
tembok dan sisi bawah atap sehingga tembok bebas tidak memikul. Dengan
konstruksi tembok bebas beban diharapkan terhindar dari bahaya gempa yang
terjadi.
·
Sesaka atau Kolom
Elemen
konstruksi utama dalam bangunan tradisional adalah tiang modul dasar
sesungguhnya adalah tiang yang disebut sesaka. Jarak tiang ke tiang ke arah
panjang adalah sepanjang tiang ditambah pengurip. Jarak tiang ke tiang ke arah
lebar 2/3 panjang tiang ditambah pengurip atau bervariasi dari bawah lambing
sampai ke atas slimar atau sunduk dawa atau sunduk bawak dan bagian-bagiannya.
Masing-masing juga dengan penguripnya. (pengurip=pelebih). Bahan yang
dipakaiuntuk sesaka adalah kayu-kayu dengan kualitas dari kelompok-kelompok
tertentu seperti raja kayu ketewel, patih kayu jati. Selain itu digunakan pula
raja kayu cendana, patih kayu menengen.
Gambar 16. Sesaka
·
Pementang
Balok belandar
sekeliling rangkaian tiang-tiang tepi, dalam bangunan tradisional disebut
lambang. Lambing rangkap yang disatukan, balok rangkaian yang dibawah disebut
lambang dan yang di atas disebut sineb. Balok tarik yang membentang di
tengah-tengah mengikat jajaran tiang tengah disebut pementang.
Gambar 17. Bagian
atap bangunan bale banjar
·
Iga – Iga
Usuk-usuk
bangunan tradisional Bali disebut iga-iga. Pangkal iga-iga dirangkai dengan
kolong atau dedalas yang merupakan bingkai tepi luar atap. Ujung atasnya menyatu
dengan puncak atap. Batang simpul menyatu di puncak disebut petaka untuk atap
berpuncak satu titik dan dedeleg untuk puncak memanjang. Disebut langit-langit
untuk atap dengan konstruksi kampiyah yang bukan limasan.
Gambar 18. Iga-iga
atau usuk
·
Raab
Penutup atap
tradisional disebut raab yang umumnya dibuat dari bahan-bahan alam, sebagian
besar alang-alang. Di pegunungan ada pula yang dibuat dari sirap bambu seperti
yang terdapat di desa penglipuran ini. Alang-alang dihasilkan sekali dalam
setahun untuk bahan yang cukup tua. Disabit, dibersihkan, diolah dalam
rangkaian ikatan yang merupakan bidang-bidang atap. Ikatan alang-alang dengan
tali ijuk dan ke bidang rangka atap diikatkan dengan tali bambu pada iga-iga
yang juga terdapat dari bambu pilihan.
Gambar 19. Atap terbuat dari bahan alami sirap
Walaupun desa
ini masih sangat tradisional akan tetapi setiap rumah sudah menggunakan listrik
sebagai penerangan utamanya. Listrik pada desa penglipuran ini bersumber pada
PLN dan juga memanfaatkan jendela dan lubang dinding lainnya sebagai media
penerangan pada siang harinya dari sinar matahari atau terang langit.
3.
Nista Mandala
Zona ini merupakan tempat yang memiliki
nilai terendah di antara zona yang lain. Terletak di bagian yang paling dekat
dengan laut (di kawasan Desa Penglipuran, zona Nista berada di bagian Selatan).
Karena itu, di zona ini terdapat sebuah kompleks pemakaman.
Gambar 20. Makam
Makam desa
Penglipuran terletak pada bagian paling selatan dari desa ini. Penempatan ini
berdasarkan kepada kepercayaan masyarakat tentang orientasi kaja (utara/gunung)
dan kelod (selatan/laut). Bangunan-bangunan di desa adat Penglipuran
penempatannya diatur mulai dari utara yang merupakan area paling suci, biasanya
di fungsikan sebagai pura, hingga ke selatan yang merupakan area yang paling
tidak suci. Area yang tidak suci ditempati oleh orang-orang yang melanggar
peraturan adat (awig-awig); misalnya, laki-laki yang memiliki isteri lebih dari
satu berarti melanggar awig-awig pada bab perkawinan (pawos pawiwahan). Dalam
pandangan masyarakat, pemakaman juga digolongkan sebagai tempat yang paling
tidak suci.
Kompleks
pemakaman di desa Penglipuran tidak sama dengan makam pada umumnya di wilayah
lain. Di kompleks pemakaman ini tidak ditemui makam-makam yang berderet dan
berjumlah banyak karena pada dasarnya kepercayaan dalam agama Hindu (agama
resmi di desa Penglipuran) menerapkan tradisi ngaben (upacara pembakaran
jenazah) sehingga tidak semua orang dimakamkan di kompleks ini.
Kompleks
pemakaman ini dibangun untuk menghormati perjuangan Kapten Anak Agung Gede
Mudhita atau A.A.Anom Muditha dan 18 anggotanya yang tewas ditembak oleh
tentara NICA (Belanda) di desa Penglipuran pada masa perang kemerdekaan
Indonesia. Jalan di samping kompleks pemakaman ini juga diberi nama “Jalan
Pahlawan” untuk menghormati para pahlawan tersebut. Adapun objek-objek yang
berada di kompleks makam ini adalah:
·
Pura Dalam Agung
Berfungsi
sebagai Pura pada umumnya, yakni sebagai tempat peribadatan bagi pemeluk agama
Hindu.
Gambar
21. Pura dalam agung
·
Petinggi Ratu Gede
Berfungsi sebagai tempat penyimpanan
barong dan perlengkapan upacara lainnya. Desa Penglipuran memang dikenal sering
mengadakan upacara adat sehingga desa ini dikenal sebagai salah satu objek
wisata budaya.
Gambar
22. Petinggi ratu
gede
·
Bale Bengong
Berfungsi sebagai tempat pertemuan bagi
masyarakat desa ketika merencanakan untuk mengadakan upacara adat tertentu.
Gambar
23. Bale bengong
·
Prasasti dan Patung
Sebagai pertanda/peringatan yang
menunjukkan bahwa Kapten Anak Agung Gede Mudhita (tertulis: AAGdANDM Muditha)
dimakamkan di kompleks pemakaman ini.
Gambar 24. Prasasti dan patung
·
Deretan Nisan
Merupakan nisan
Kapten Anak Agung Gede Mudhita dan 18 anggotanya. Nisan anggota berjejer dalam
enam baris ke samping. Sedangkan nisan Kapten Anak Agung Gede Mudhita berada di
satu sisi menonjol keluar.
Nisan
Kapten Anak Agung Gede Mudhita
|
Nisan Anggota
|
Gambar 25. Deretan nisan
4
|
Keterangan
gambar:
1.
Pura Dalam Agung
2.
Petinggih Ratu Gede
3.
Bale Bengong
4.
Prasasti
5.
Deretan kuburan (nisan)
6.
Lapangan
7.
Gerbang masuk kompleks pemakaman
|
5
|
2
|
1
|
7
|
3
|
6
|
Gambar 26. Denah zona nista manggala
5. UTILITAS
LINGKUNGAN
a.
Jaringan Sampah
Sistem
pembuangan sampah pada desa penglipuran ini adalah menggunakan sistem
desentralisasi, yaitu pengumpulan sampah yang dilakukan di beberapa bak koleksi
yang ditempatkan diluar masing-masing rumah. Selanjutnya sampah tersebut
diangkut dengan mobil grobak dan dikumpulkan pada suatu tempat ( tempat
pembuangan akhir ).
Gambar 27. Jenis penampungan sampah sementara yang
berada pada masing-masing rumah di Penglipuran
b.
Jaringan Air Kotor
Air kotor pada
Desa Penglipuran yang dihasilkan dari masing-masing RT langsung di tamping ke
septic tank (limbah padat). Sedangkan untuk limbah cair di buang ke selokan
yang dihubungkan melalui pipa-pipa. Pada umumnya warga menggunakan closet
jongkok di WC nya.
Gambar 28.
Selokan sebagai aliran air kotor menuju pembuangan saluran desa
c.
Jaringan Air Bersih
Air bersih yang
digunakan untuk mencukupi konsumsi air bersih pada Desa Penglipuran berasal
dari PDAM.
Gambar 29. PAM sebagai konsumsi air bersih warga
d.
Penghawaan
Sistem
penghawaan pada Desa Penglipuran menggunakan sistem penghawaan alami berupa
jendela dan lubang dinding lainnya yang juga memanfaatkan terang langit sebagai
media penerangan pada siang hari.
Gambar 29. Penghawaan alami berupa jendela juga
berfungsi sebagai pencahayaan alami pada saat siang hari.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Desa
adat Penglipuran masih mempertahankan pola tata ruang aslinya sehingga terlihat
keteraturan dalam tatanan ruang yang ada. Hal ini tidak lain karena usaha dari
warga desa adat penglipuran yang mejunjung tinggi adat istiadat setempat.
B.
Saran
Semoga
semua desa adat yang berada di Bali tetap menjaga keaslian sesuai dengan konsep
yang ada, tidak terpengaruh arus globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
No comments